Manfaat Pendekatan Kontekstual Pada Mata Pelajaran IPA

Berikut ini kami bagikan File Tentang Penjelasan Manfaat Pendekatan Kontekstual Pada Mata Pelajaran IPA, seperti apa bentuk file tersebut silahkan disimak Manfaat Pendekatan Kontekstual Pada Mata Pelajaran IPA.
Manfaat Pendekatan Kontekstual Pada Mata Pelajaran IPA
Manfaat Pendekatan Kontekstual Pada Mata Pelajaran IPA


Pendahuluan

Ada beberapa bidang studi yang tidak diterapkan pembelajaran kontekstual, sedang untuk bidang studi IPA penerapan pembelajaran kontekstual masih terbatas pada pokok bahasan tertentu. Dengan demikian pada sebagian besar pokok bahasan bidang studi IPA masih menggunakan cara konveksional yaitu metode ceramah. Pada proses belajar yang demikian guru tidak mengindahkan pengetahuan awal siswa, maka akan membuat kesulitan siswa semakin kompleks (Ausubel dalam Dahar, 1989). Umumnya guru yang mengajar dengan cara seperti ini cenderung menggunakan metode mengajar yang monoton, yaitu metode ceramah dan tanya jawab, pembelajarannya didominasi oleh guru sehingga pengajaranya bersifat teacher centered. Bila hal ini terjadi maka siswa akan pasif , selain itu pengajaran semacam ini cenderung menyebabkan kebosanan pada siswa (Tek, 1998).
Kegagalan pendidikan yang dirasakan saat ini disebabkan oleh model pembelajaran yang cenderung bersifat otoriter. Oleh karena itu sudah saatnya bagaimana memikirkan cara pembelajaran dalam lingkungan yang lebih demokratis. Lingkungan belajar yang demokratis memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan pilihan - pilihan tindakan belajar yang akan mendorong anak untuk terlibat secara fisik, emosional dan mental dalam proses belajar, sehingga dapat memancarkan kegiatan - kegiatan yang kreatif dan produktif (Degeng, 2000). Sebagai perwujudan konkrit dan pendidikan yang demokratis adalah sikap guru harus mampu menerima perbedaan, menghargai pendapat siswa, tidak menang sendiri, dan tidak merasa paling tahu (Sadiman, 2000). Sekarang permasalahannya adalah bagaimana model pembelajaran yang demokratis itu? Model pembelajaran yang demokratis berarti harus mengubah paradigma lama, yaitu pembelajaran yang terpusat pada guru (teacher centered) dan menggantikannya dengan paradigma baru, yaitu pembelajaran yang terpusat pada siswa (student centered learning).
Melalui paradigma baru student centered learning para pengajar dituntut agar selalu mengadakan inovasi - inovasi dalam melaksanakan pembelajaran secara terus menerus berkesinambungan. Hal ini berarti mereka juga harus merancang sebuah model pembelajaran yang menuntut siswa lebih aktif. Jadi dengan paradigma baru ini juga dalam pelaksanaan dan kegiatan pembelajaran tidak lagi didominasi oleh guru tetapi lebih terpusat pada siswa.
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam perencanaan dan pelaksanaan aktifitas belajar mengajar. (Suhardjono, 2000). Salah satu model pembelajaran adalah konstruktivisme. Dalam pembelajaran konstruktivisme pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa secara aktif melalui perkembangan proses mentalnya (Leinhart, 1992). Konstruktivisme juga berisi pengajaran yang menekankan pada penemuan, pemecahan masalah, serta sangat mengutamakan proses (Sushkin, 2001).
Proses pembelajaran setiap jenjang pendidikan seharusnya menitik beratkan pada pengembangan berpikir siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada siswa unuk berpikir dengan melakukan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir. Kurikulum SD Tahun 1994 di dalamnya menyebutkan tujuan pembelajaran IPA adalah meliputi: (1) memahami konsep - konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari - hari, (2) memiliki ketrampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan tentang alam sekitar, (3) mempunyai minat untuk mengenal dan mempelajari benda - benda serta kejadian di lingkungan sekitar, (4) bersikap ingin tahu, terbuka, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, bekerja sama dan mandiri, (5) mampu menerapkan berbagai konsep IPA untuk menjelaskan gejala - gejala alam dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari - hari, (6) mampu menggunakan teknologi sederhana yang berguna untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari - hari, dan (7) mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar, sehingga menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Bertolak dari tujuan kurikulum IPA berarti bahwa untuk pembelajaran IPA harus sesuai dengan hakekat IPA itu sendiri yaitu suatu produk ilmiah, dan sikap ilmiah. Oleh karena itu perlu adanya suatu alternative untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satunya adalah mengembangkan perangkat pembelajaran termasuk strateginya yang menekankan pada proses ketrampilan berpikir siswa.
Menurut Wahidin (1996) ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari proses belajar mengajar yang menekankan pada proses ketrampilan berpikir yaitu, 1) belajar lebih ekonomis, yakni bahwa apa yang diperoleh dari pengajarannya akan tahan lama dalam benak siswa; 2) cenderung menambah semangat belajar baik pada guru maupun pada siswa; 3) siswa diharapkan memiliki sikap ilmiah; 4) siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah baik pada saat proses belajar mengajar di kelas maupun dalam menghadapi permasalahan nyata yang akan dialaminya.
Salah satu model pembelajaran yang mengarah pada ketrampilan berpikir siswa adalah pembelajaran kontekstual. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTl) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan mata pelajaran dengan situasi nyata dan memotivasi siswa membuatnya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga (Blanchard, 2001 dalam Nur, 2001).
Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa - siswa Tk sampai dengan SMA untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah - masalah dunia nyata yang disimulasikan (University of Washington, 2001 dalam Nur, 2001).

Back to Content ^



Pembahasan

2.1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Teori pembelajaran kontekstual merupakan landasan teoritik pembelajaran kontekstual. Esensi dan teori kontruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentranformasikan suatu informasi kompleks ke suatu informasi lain, dan apa bila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri (Leinhart, 1992). Oleh karena itu siswa perlu di biasakan untuk memecahkan masalah, menemukan suatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkontruksikan sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif pada proses belajar mengajar.
Pembelajaran kontekstual pertama kali dicetuskan oleh John Dewey pada awal ke 20 yang menyarankan suatu kurikulum dan metodologi pengajaran dikaitkan dengan pengalaman dan minat siswa (Departemen Pendidkan Nasional, 2002). Pembelajaran kontekstual terdaji apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang dikerjakan dan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa dan tenaga kerja (Universiti of Washington, 2001 dalam Nur, 2001). Menurut Blanchard, 2001 dalam Nur, 2001 pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan yang erat dalam pengalaman sesungguhnya.
Melalui pembelajaran kontekstual hasil belajar diharapkan bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dari mengalami bukan transfer pengatahuan dari guru kesiswa. Menurut Nur, 2001 pembelajran kontekstual menekankan pada berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan, lintas disiplin, serta pengumpulan dan penganalisaan dan pesistensian informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan. Agar sebuah pengajaran dapat beramakna, agar dapat membantu siswa untuk belajar memecahkan masalah yaitu memberi tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
Peranan guru dalam pengajaran kontekstual adalah menyediakan fasilitas pada siswa. Arend (4997) menekankan pentingnya guru memberi scaffloding berupa dukungan dalam upaya meningkatkan inquiri dan perkembangan intelektual siswa. Oleh kerena itu didalam pembelajaran kontekstual peran guru adalah mempersiapkan suatu atmosfer dan dibawah atmosfer itu siswa merancang dan mengaralkan kegiatan (Nur, 2001)
Universiti of Washington, 2001 dalam Nur, 2001 telah mengidentifikasikan enam unsur pembelajaran kontekstual. Keenam unsur tersebut adalah
a. Pembelajaran bermakna; pemahaman relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konsen yang harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi sebagairelefan dengan kehidupan mereka.
b. Penerapan pengetahuan :kemampuan untuk melihat baaimana apa yang harus dipelajari diterapkan dalam tatanan-tatanan lain dan fungsi-fungsi pada masa sekarang dan akan datang
c. Berfikir tingkat lebih tinggi : siswa dilatih untuk menggunakan berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu atau memecahkan suatu masalah.
d. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar konten pengajaran berhubungan dengan suatu rentang dan beragam standar lokal, negara bagian, nasional, asosiasi dan indrustri.
e. Refonsif terhadap budaya pendidik harus memahami dan menghormati nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan siswa, sesama rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka mendidik. Berbagai macam budaya perorangan dan kelompok mempengaruhi pembelajaran. Budaya-budaya ini, dan hubungan antara budaya-budaya ini mempengaruhi bagaimana pendidik mengajar. Paling tidak empat perfektif seharusnya dikembangkan individu siswa, kelompok siswa, (seperti tim atau keseluruhan kelas), tatanan sekolah, dan tatanan masyarakat.
f. Penilaian autentik : penggunaan berbagai macam strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar yag sesungguhnya yang diharapkan dari siswa. Strategi-strategi ini dapat meliputi penilaian atas proyek dan kegiatan siswa, penguasaan fortofolio, rubik ceklis, dan paduan pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada siswa ikut akfir berperan dalam menilai pemebelajaran mereka sendiri dan penggunaan tiap-tiap penilaian untuk mempebaiki keterampilan menulis mereka.
Beberapa strategi pembelajaran berikut ini menempatkan siswa dalam pembelajaran konteks bermakna yang sesuai dengan CTL (Universiti of Washington, 2001 dalam Nur, 2001)
1. Pengajaran autentik
Pengajaran autentik adalah pengajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam konteks bermakna. Strategi ini mengutamakan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang merupakan keterampilan penting dalam tatanan kehidupan nyata.
2. Pembelajaran berbasis-inquiri
Pembelajaran berbasis-inquiri merupakan strategi pembelajaran yang berpola pada metode-metode sains dan memberikan kesempatan siswa untuk pembelajaran yang bermakna. Suatu masalah diajukan dan metode ilmiah digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
3. Pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berbasis masalah adalah sutau pendekatan pengajaran yang menggunakan maslah-masalah dunia nyata sebagai suatu kontek untuk siswa untuk belajar berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, dan untuk memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep esensial.
4. Pembelajaran berbasis kerja
Pembelajaran berbasis kerja adalah suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari konten mata pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana konten itu digunakan dalam tempat kerja.
Sedangkan Blanchard, 2001 dalam Nur, 2001 mengidentifikasi 6 strategi pengajaran kontekstual sebagai berikut :
1. Menekankan pada pemecahan masalah
2. Menyadari kebutuhan akan pengajaran dan pembelajaran yag terjadi dalam berbagai konteks seperti, rumah, masyarakat dan pekerjaan
3. Mengajar siswa memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga mereka menjadi pembelajaran mandiri
4. Mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda
5. Mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama
6. Menerapkan penilaian autentik
2.2. Manfaat Pembelajaran Kontekstual Dalam Pembelajaran Ipa
Pembelajaran kontekstual dalam Ilmu Pengetahuan Alam tersebut antara lain menerapkan prinsip 1) Ilmu Pengetahuan Alam adalah untuk semua siswa dan 2) pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam merupakan proses aktif (Nasinal Academy af Science, 1995 dalam Nur, 2001)
Prinsip pertama mengandung arti bahwa semua siswa dapat mencapai pemahaman apabila mereka memberikan kesempatan. Siswa akan memcapai pemahaman dengan cara-cara yang berbeda dan siswa akan mencapai hasil belajar tersebut pada kecepatan yang berbeda, sebagian siswa lebih cepat dari pada yang lain. Perhatian terhadap siswa yang memiliki kecepatan belajar yang berbeda ini sejalan dengan salah satu misi Curiculum Center (2000), yaitu to develop a learning programe that server the diversiti of pupils abilities.
Prinsip kedua mengandung arti bahwa pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam merupakan suatu yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan siswa. Siswanya, bukan guru, jadi individu yang mengidentifikasi masalah mengusulkan cara pemecahan masalah dan kemudian menguji usulan cara pemecahan masalah itu. Siswa harus diberikan pengalaman-pengalaman fisik atau sensor motor sebagai dasar untuk mengembangkan ide-ide abstrak. Perangkat ini memberikan kemudahan guru untuk menggunakan berbagai kesempatan learning by doing. Dalam pendidikan ilmu pengetahuan alam, siswa mendiskripsikan, mengkontruksi penejelasan atas gelaja alam, menguji penjelasan tersebut dalam berbagai cara yang berbeda dan mengkomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain.


2.3. Hakekat Pembelajaran Kontekstusional
Pembelajaran kontekstual dalam konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pembelajaran kontekstual hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.

2.4. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama yaitu kontruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya, dan untuk melaksanakan hal itu tidak sulit. Pendekatan kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidan studi apa saja, dan kelas yang bagaimana keadaanya.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam kelas cukup mudah, secara garis besar langkahnya sebagai berikut :
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksisendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
2. Laksnakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topic
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4. Ciptakan masyarakat belajar
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Lakukan refleksi diakhir pertemuan
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya

Back to Content ^



Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dapat memperkuat daya ingat anak didik, karena pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan sehari-hari. Yang lebih penting bahwa pendidikan kontekstual dapat diterapkan pada kurikulu apasaja, bidang studi apasaja, dan kelas yang bagaimanapun keadaanya. Dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan daya ingat pada anak.
Back to Content ^



Daftar Pustaka

Arend, RI, 1997. Classroom intruction and management. New York : Mc. Graw hill Book Companies, Inc.
Arifin, Imron. 1990. Penelitian Kualitatif dalam bidang Ilmu-ilmu Sosial dari Keagamaan. Malang : Kalimashada Press
Dahar, R.W., 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta
Dugeng, I. Nyoman S., 2000. Paradigma baru Pendidikan Memasuki Era Demokrasi Belajar. Makalah Disajkan dalam Seminar Diskusi panel nasional tehnologi Pembelajaran V. Malang kerjasama UM dan IPTTPI Cabang Malang
Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Manajemen Peningkatan Multi Berbasis Sekolah, Buku 5 Pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Jakarta Depdiknas
Johnson, David an Johnson, 1994. Learning together abd Alone, Cooperatif Competitif and Individualisme. New Jerssey. Prentice Hall
Kasbolah, K. 1999. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru Sains. Makalah disajikan dalam Pelatihan Guru Sains dengan Pendekatan STM. Malang 12 - 15 Juli 1999
Lemhart, G. 1992. What Research on Learning, In. K. M. Cauley, F. Linder, J.H McMilan (eds), Anual Edition Education Psycology Of human Thought (pp.1 88-213). New york; cambrigde Universiti Press.
Nur, M. 2001. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Makalah Disajikan pada pelatihan Calon Pelatih SLTP. Surabaya 21 juni - 6 juni 2001
Back to Content ^


Dowwload Artikel Format Microsoft Word (.doc)
Manfaat Pendekatan Kontekstual Pada Mata Pelajaran IPA

Comments